Minggu, 26 Januari 2014

Matematika dalam Pasir Waktu #1

Matematika! Pelajaran tak berwarna yang selalu membuat darah Cio membeku. Pelajaran yang selalu menciptakan kutukan-kutukan baru untuk Cio. Cio adalah gadis manis, cantik dan imut yang selalu membenci pelajaran matematika. Baginya matematika adalah hukuman dunia yang selalu merajai harinya. Tak jarang Cio selalu bolos 2 jam pelajaran matematika dan lebih memilih untuk berdiam diri di bangku paling pojok perpustakaan.
           “Gini... ni... gue paling males ngadepin pelajaran matematika. Ngajak ribut aja tuh matematika.!” Gerutu Cio kepada dirinya sendiri saat ia baru memasuki ruang perpustakaan.
           Keadaan ruang perpustakaan saat jam pelajaran sama seperti biasanya, sangat sepi. Namun pada pagi ini ada yang berbeda. Bangku pojok yang biasanya menjadi tempat favorit Cio saat bolos pelajaran matematika, sekarang sedang diduduki oleh seorang cowok. Cowok berpakaian seragam sekolah rapi dengan lembaran kertas diatas meja dan bolpoin digenggamannya, menatap dengan serius lembaran kertas dihadapannya dan sesekali ia mengayunkan bolpoin diatasnya. Cio memperhatikan cowok itu dengan cermat, dari ujung kaki hingga ujung kepala.
           ‘Hem.. sepertinya dia bukan murid sini deh!’ Batin Cio dengan memasang wajah penasarannya. Cio menghampiri cowok itu dan waktu yang bersamaan ia merapikan lembaran-lembaran kertas yang ternyata adalah lembaran soal-soal matematika.  Cowok itu menoleh kearah Cio yang sedari tadi masih memutar otaknya menerka-nerka siapa cowok itu. Tak disangka-sangka saat cowok itu menoleh pada dirinya, Cio terpaku menatap wajah laki-laki yang kini berhadapan dengannya. Detak jantungnya tak beraturan. DEG.
           Cio segera tersadar dengan tingkahnya yang menurutnya terlalu memalukan untuk dirinya sendiri yaitu ‘Menatap Mata Cowok’, dan ia segera menundukkan kepalanya. Lalu ia berusaha bersikap wajar dan membuka pembicaraan.
           “ee...ee...siapa lo? Ngapain disini?”tanya Cio yang tampaknya masih setengah gugup.
           “Gue Adit, anak baru disekolah ini. Dan ini gue diminta ngerjain tugas matematika sebelum mengawali hari pertama gue disini.” jawab Adit dengan wajah yang sangat datar.
           Cio melirik lembaran-lembaran kertas yang telah tertata rapi diatas meja. Oh... MaTiMaTiKA... batin Cio sambil mencibirkan bibirnya.
           “Nah, lo sapa? Ngapain disini? Bukannya ini waktunya jam pelajaran?” tanya Adit menyelidik.
           Belum sempat Cio menjawab, dari kejauhan ia melihat Pak Owi guru matematikanya berjalan menuju perpustakaan. Cio langsung meloncat dan segera menyelundup di kolong meja. Adit hanya terbengong-bengong melihat Cio yang lagi geridu seperti orang kena gempa bumi aja!
           “pliz...pliz...pliz... bantu gue. Gue lagi bolos pelajaran Matematika nih!” Mohon Cio kepada Adit dengan memasang tampang memelas dan itu juga merupakan sebuah jawaban dari pertanyaan Adit tadi.
           Adit hanya tersenyum samar dan lagi-lagi membuat jantung Cio berdetak kencang bahkan semakin terasa mau copot. Bukan karena Adit menatap matanya tetapi kali ini karena ia tak tau apa arti senyuman samar itu. Menurut Cio senyum itu adalah senyuman yang berarti TIDAK. Mampuslah Cio jika Adit tidak bisa diajak kompromi. Detak jantung Cio semakin cepat. Cio hanya bisa melihat setengah badan Adit.
           Tiba-tiba Adit beranjak dari kursinya. Bibir Cio berkomat-kamit sambil menggenggam tangan kanannya yang dingin. Ia sedikit lega karena Adit telah pergi dan itu artinya Pak Owi tidak akan pergi ke tempat itu. Cio hendak keluar dari tempat persembunyiannya, tapi suara langkah kaki membekukan Cio yang tak dapat bergerak sama sekali. Mau mundur ke tempat semula nggak nutut. Suara langkah panjang semakin mendekat dan Cio hanya bisa menutup matanya dengan kepala yang masih setengah keluar dari tempat persembunyiannya. Tiba-tiba ada satu tangan yang mendorong kepalanya masuk kembali ke tempat persembunyiannya.
           “emmm... ini pak tugas yang tadi sudah saya kerjakan.” Kata Adit sambil menyerahkan lembar jawaban beserta soalnya.
           Pak Owi menerima lalu mengamati lembar jawaban Adit.
           “Hmmm... yak....” Sesekali Pak Owi mengulangi kalimatnya, “Hmmm... yak...”. Haha. “ oke... sudah bagus pengerjaanya. Ini ada soal lagi untuk kamu kerjakan, bapak harap pada saat bel istirahat berbunyi kamu sudah menyelesaikannya.” Kata Pak Owi. “Hmmm... ckck.. sekitar satu jam lagi lah.” Lanjut Pak Owi sambil melihat jam tangan hitam yang dipakainya.
           “Oh...siap pak.” Kata Adit sambil menerima lembar soal baru.
           “Oke bagus Adit. Bapak tunggu nanti diruangan bapak,” kata Pak Owi sambil menepuk pundak Adit.
           “Baik pak.” Jawab Adit.
           Pak Owi pergi dari tempat itu meninggalkan Adit dan bocah tengil yang sedang memanjatkan puji syukur kepada tuhan dikolong meja perpustakaan. Haha.
           Adit berlutut dan ia mulai menahan tawa ketika melihat Cio sedang memanjatkan puji syukur dengan mata tertutup dan mulut yang berkomat-kamit. Sesekali Cio memancungkan bibirnya saking cepatnya kata yang dia ucapkan.
           “Heh.. Pak Owinya udah balik tuh!” Kata Adit mengejutkan Cio. Adit mengulurkan tangannya membantu Cio keluar dari tempat persembunyiannya.
           “Emmm... Makasih ya.” Kata Cio sambil tersenyum.
           “Makasih untuk apa?” tanya Adit.
           “Makasih, karena lo udah nolongin gue.”
           “Okelah... sama-sama.” Jawab Adit.
           “Gue bisa balas apa nih buat tanda terimakasih?” tawar Cio.
           “Hmmm... boleh juga tuh! Lo bantu gue kerjakan soal ini aja deh!” Adit menunjuk selembar soal matematika, spontan, itu membuat bola mata Cio yang sipit melotot.
           “HAH? Bantu Ngerjain Matematika?” Cio tak habis fikir. “Sekarang gue bolos karena gue benci Matematika tau!” curhat Cio dengan nada agak tinggi tapi terkesan pasrah.
           “Lo nggak mau.? Hmmm... Nah, kan lo sendiri yang nawarin!” Wajah Adit terkesan datar sambil berlagak seperti Rentenir. Haha. “Hayo?” lanjutnya sambil melipat tangan didepan dada. Cio menggigit bibir bawahnya.
           “Oke deh...oke deh...” Cio meng-Iya-kan dengan pasrah.
           Tau gitu nggak usah deh gue nawarin tanda terimakasih ke dia! Huh—“.! Batin Cio.
           “BTW. Nama lo sapa?” tanya Adit mengeluarkan sedikit rasa penasarannya terhadap Cio, sambil duduk dan menyiapkan pekerjaannya.
           “Nama gue Cio.” Jawab Cio tanpa semangat. Dan hanya kalimat itu yang keluar dari mulut Cio. Cio terlihat tidak nyaman dengan adanya soal matematika. Ia mulai membuka soal itu dan mulai membaca soal Nomor 1.... lalu ia mengalihkan pandangannya ke Nomor berikutnya, Nomor 2.... lalu Nomor 3... Nomor 4.... Nomor 5........
           ‘HUWWAAAAAA...... GUE NGGAK NGERTIIIIIIIII....!’ Teriak Cio dalam hati sambil mengacak-acak Poninya.
           “Tau’ deh! Gue nggak Ngerti! Gue nemenin lo aja ya disini.” Kata Cio tanpa dosa.
           “Bego’ Lo!” kata Adit membuat mata Cio melotot. “Sini soalnya.” Lanjut Adit sambil melirik Cio yang sedang mengkerut kesal padanya.
           “Ya udah. Lo yang nulis, gue yang ngitung! bisa?” lanjut Adit lagi.
           “Iya deh...” jawab Cio pasrah tapi masih dongkol dibilang BEGO.
           “Eh... tunggu..tunggu... Tapi lo bisa nulis kan? Ntar malah lembar jawaban gue ancur gara-gara lo nggak bisa nulis.” Goda Adit membuat Cio tambah dongkol.
           “Enak aja,emang gue nggak sekolah TK apa? Heh,,.” Jawab Cio sambil merebut bolpoin dan lembar jawaban dari Adit. Adit ingin tertawa melihat tingkah Cio. Tapi ia tetap berusaha terlihat COOL.
           “Tapi gue masih ragu ama kemampuan lo! Jangan-jangan 1+1 aja lo nggak tau berapa hasilnya. Heeh... payah!” goda Adit lagi yang membuat Cio semakin dongkol kwadrat. Tapi ia berusaha untuk tetap wajar.
           “Ihhh... 1+1 kan sama dengan 2. Kamsek lo, masa orang cantik kayak gue nggak tau sih! HmmmHhh..!” jawab Cio sambil memalingkan wajahnya sehingga rambut panjangnya yang terikat menghempas wajah Adit. Adit terdiam. Baru kali ini ia bertemu dengan gadis seperti Cio. Pikirnya. Tapi, tunggu tunggu.... Pertemuan pertamanya terasa tidak asing baginya. Adit memperhatikan Cio yang kini sedang menuliskan nama, kelas, no. Absen di lembar jawaban Adit. Adit menyipitkan matanya dan mulai menjelajah tiap ruang memory otaknya untuk mengingat-ingat siapa Cio sebenarnya.
           “Eh... Nama panjang lo siapa? kelas? No. absen?” tanya Cio tanpa menoleh ke Adit. Namun pertanyaan Cio tidak mampu membuyarkan ritual penjelajahan ruang memory otaknya Adit.
           “Eh... iya, lo kan murid baru. Belom tau kan kelas mana dan no. Absennya berapa.” Lanjut Cio sambil mengambil tip-X tanpa menunggu jawaban dari Adit.
           Adit tetap fokus pada pencariannya. Dan tak lama kemudian , Adit ingat sesuatu. Adit terkejut bukan main, ia menarik nafas panjang dengan cepat. Ia baru menyadari. Adit kenal Cio!


cinta itu berkala. tidak  memandang siapa yang dicintai dan mencintai. dan ketika cinta menjauh, kita mulai merasa bahwa dia berharga dan tak terganti.
hanya saja jika cinta mulai memudar ketika telah bersama,, barulah kita sadar jika bukan dialah orang yang sesungguhnya kita cinta....
cinta membutakan segalanya, termasuk mata kita. maka itulah cinta yang sesungguhnya. karena cinta tak butuh alasan, jika cinta butuh alasan ketika alasan itu pergi apakah cinta juga harus pergi.?
cinta itu berkala. tidak memandang siapa yang dicintai dan mencintai. dan ketika cinta menjauh, kita mulai merasa bahwa dia berharga dan tak terganti. hanya saja jika cinta mulai memudar ketika telah bersama,, barulah kita sadar jika bukan dialah orang yang sesungguhnya kita cinta.... cinta membutakan segalanya, termasuk mata kita. maka itulah cinta yang sesungguhnya. karena cinta tak butuh alasan, jika cinta butuh alasan ketika alasan itu pergi apakah cinta juga harus pergi.?

TENTANG HUJAN

CORETAN SEDERHANAKU TENTANG HUJAN.....

Hujan...
Datang tiba-tiba dengan derasnya. Menyapu debu dari ribuan pepohonan serta menyiram dunia yang telah kering karena kemarau. Hujan penuh dengan cerita, dari cerita sedih hingga bahagia. Mungkin hujan juga sosok penguji yang handal terhadap sesuatu yang menurut segelintir orang adalah penting. Tak jarang pula hujan menjadi bahan pembicaraan dikalangan anak-anak, remaja, ibu-ibu, bapak-bapak, bahkan sampai nenek-nenek dan kakek-kakek sekalipun. Banyak sekali rasa yang terpendam dalam sebutir air hujan. Padangan tentang hujan dari beberapa kalangan pun berbeda.

ANAK-ANAK : Hujan adalah surga, ‘karena aku bisa bermain dengan air bersama teman-temanku’. Ada juga yang tidak demikian; Hujan adalah penjara, ’karena hujan aku tidak boleh keluar untuk bermain sama mama dan papa’.

REMAJA : Hujan kau menyebalkan! ‘gara-gara hujan acara ngapelin pacar jadi gagal deh’. Hujan menyebalkan! ‘gara-gara hujan acara ketemuan jadi nggak kesampaian’. Hujan menyebalkan! gara-gara hujan bla bla bla.........’

IBU-IBU : Hujan itu bencana! ‘gara-gara hujan baju baru buat datang ke arisan jadi basah’. Hujan kau memang bencana! ‘gara-gara hujan jalanan jadi becek, highheels baru kan jadi kotor’. Untuk ibu rumah tangga; Kau HUJAN BENAR-BENAR BENCANA! ‘gara-gara hujan orang rumah pada kelaparan karena gak bisa ke pasar beli bahan makanan’.

BAPAK-BAPAK : Hujan itu emang kadal! ‘gara-gara hujan gak bisa berangkat kerja cari duit’. Hujan itu emang Bener-bener KADAL! ‘jas baru buat ketemu sama klien jadi kotor kecipratan genangan air lumpur’. Bagi bapak pengangguran; Hujan itu indah, ‘jadi makin nyaman dibuat tidur dikasur yang empuk’. Hujan itu indah, ‘buat kopi nonton tv jadi tambah menyenangkan’.

NENEK DAN KAKEK : NENEKHujan itu BAHAYA! Jalan-jalan dihalaman rumah KEPLESET’. KAKEKnenek ayo bernostalgia masa muda kita dibawah hujan’. Ciaakakakakaka... :D

          Beribu alasan berjejal kambuh tanpa akhir, menyisakan banyak kutukan untuk hujan yang indah.

          Jangan salahkan hujan untuk semua kegalauanmu. Jangan salahkan hujan  untuk kepentinganmu sendiri. Jangan salahkan hujan untuk bencana-bencana banjir, karena sesungguhnya kitalah yang seharusnya menjaga alam agar tak mencelakai diri kita sendiri. Jangan salahkan dataran tinggi untuk aliran air yang berlebih karena hujan. Itu semua karena keserakahan kita sebagai manusia. Seandainya saja pohon-pohon tidak ditebang liar, seandainya saja ada reboisasi dalam setiap penebangan saudara alam kita. Maka semua itu tak akan terjadi kawan. Sekali lagi itu bukan salah hujan. Ingatlah bahwa hujan adalah anugerah dari Allah, karena tanpa hujan....

          Pohon-pohon dihutan akan kering dan mati karena dehidrasi bahkan dapat terbakar menjadi arang karena sengatan matahari yang berlebih *terutama didaerah tropis – tepat dibawah garis khatulistiwa*. Rumput-rumput hijau yang indah akan berubah menjadi kaku, kering, dan menguning. Bunga-bunga indah akan layu dan lebah-lebah pun tak dapat mengumpulkan madu, sehingga petani madu pun akan jatuh miskin bersama keluarganya karena tak dapat penghasilan.

          Bersyukurlah masih ada butiran hujan yang turun ke bumi ini. Memberi rejeki kepada yang membutuhkan. Memberi bahagia walau terselip duka. Memberi kehidupan walau ada kematian. Memberi warna dibalik kegelapan. Dan semua itu sungguh berarti dalam kehidupan.

          Cobalah kita mulai membuka mata. Cobalah mulai membuka telinga. Lebarkan tanganmu untuk mulai menerima. Lapangkan hatimu untuk buah keikhlasan. Karena dengan itu semua kita bisa merasakan, sungguh terasa besar dan indahnya setitik karunia Allah, berupa Hujan......... :)


KARYA : OCVIDA IZMIASTUTI

Sedikit kita butuhkan, terlalu banyak membawa bencana...
itulah hujan....:)
Sedikit kita butuhkan, terlalu banyak membawa bencana... itulah hujan....:)