Senin, 23 November 2015

Mengembangkan Bakat dalam Berbisnis... :p



TIGA RIBU RUPIAH, ALHAMDULILLAH...
Karya : Ocvida Izmiastuti

                UANG. Satu kata yang tak pernah luput dari kehidupan manusia, begitu pula dengan kehidupanku. Hidup dari keluarga berkecukupan tak membuatku enggan untuk mencari pendapatan sendiri. Bermula dari ide-ide cemerlang dan ajakan teman yang memang suka berbisnis, akhirnya aku pun turut meramaikan dan belajar untuk mandiri agar menjadi sebuah kebutuhan.
            Masa SMA adalah masa pembangunan dari kepercayaan diri seseorang. Bagaimana tidak, zaman sekarang banyak sekali remaja yang malu dengan acara mencari uang dengan cara berdagang. Tetapi semua itu tidak berlaku untukku dan seorang kawanku yang bernama Rohma.
            “Kelas 3 banyak nganggurnya Oc, bosen jadinya.” Keluh kawanku Rohma.
            “Iya nih ma, rasanya ingin berbisnis untuk mengisi waktu luang tanpa mengganggu konsentrasi sekolah untuk UNAS.” Balasku sambil merenung.
            “Bagaimana jika kita mengelola usaha, ya untuk belajar mandiri aja.”
            “Wah, ide bagus. Bagaimana kalo kita jual accessories?” usulku.
            “Hemm, boleh juga, kebetulan aku suka membuat kerajinan seperti itu.” Sahut Rohma setuju.
            “Oke, kalau begitu untuk modalnya bisa kita tabung uang jajan kita selama tiga hari, kira-kira cukuplah.”
            “sip dah Ocvi.” Rohma meng-iyakan.
            Tiga hari aku menabung, begitu pula dengan Rohma juga menabung, hingga akhirnya uang hasil menabung terkumpul dan cukup untuk membeli bahan-bahan untuk membuat accessories. Sepulang sekolah aku selalu mampir ke grosiran untuk membeli bahan-bahan yang diperlukan. Membuat accessories seperti jepit, bando, gelang, dan bros tidak semudah yang dibayangkan untuk pemula sepertiku, tetapi berkat bantuan Rohma aku menjadi terbiasa membuat itu semua.
            Sudah terkumpul beberapa accessories yang telah jadi dibuat dengan bahan seadanya, lebih dari 5 bando kawat yang dilapisi dengan kain-kain bergambar yang sangat lucu, lalu 3 bros flanel, dan 2 jepit pita. Dagangan accessories aku bawa ke sekolah dan aku jajakan disetiap kelas saat istirahat. Rohma kawanku juga ikut mendampingi aku berkeliling. Dari seluruh kelas XII hingga kelas X kami mempromosikan dagangan, hingga ruang guru pun juga menjadi sasaran manis untuk menjajakan dagangan accessories kami. Alhasil, dagangan dihari pertama pun laris.
            Pengalaman baru itu menumbuhkan semangat lebih untuk menjalankan bisnis kecil ini. Hingga akhirnya aku dan Rohma lebih giat melakoni kegiatan membuat accessories lebih banyak dari sebelumnya.
            Hari minggu adalah hari tersantai dibanding dengan hari-hari lain, karena dihari minggulah aku bisa lebih leluasa berdagang accessories di alun-alun kota bersama Rohma. Jam 4 pagi kami telah menjejakkan kaki di pelataran Masjid Jami’ di barat daya Alun-alun kota Jember. Indahnya langit yang masih kebiru-biruan dengan berhiaskan satu bintang timur yang menghangatkan pandangan di dinginnya pagi ini. Satu keranjang penuh accessories yang akan kami jual kepada pejalan kaki pada minggu pagi ini. Seusai sholat subuh di masjid Jami’ kami langsung melancarkan aksi berdagang kami di Alun-alun. Beribu angan telah merangsang setiap saraf otak untuk menuliskan kata “LARIS” dijidat kami untuk semua dagangan ini.
            Senyum, tegur sapa, canda tawa tak nampak sama sekali pada raut wajah pedagang-pedagang lain. Aku hanya diam dan terus berjalan menyusuri jalan-jalan yang telah dipenuhi oleh banyak sekali pedagang kaki lima yang telah melebarkan alas-alas untuk dagangan mereka. Sehingga aku dan Rohma hanya bisa menoleh kanan kiri mencari tempat untuk berdagang. Lebih dari satu jam aku dan rohma mencari tempat untuk stan berjualan accessories, tetapi kami belum menemukan tempat untuk menggelar alas. Sedangkan pejalan kaki semakin banyak berlalu lalang dan semakin sulit bagi kami untuk berjalan membawa keranjang dan tikar, dan terik matahari pun sudah mulai terasa memanaskan tubuh yang telah dilumuri banyak keringat. Akhirnya kami memutuskan untuk berjalan menuju teduhnya pohon beringin dipojokan Alun-alun kota Jember. Sungguh lelah tubuhku yang mungil ini, semua tidak seperti seperti angan-angan tentang kemudahan berdagang di tempat seperti ini. Persaingan memang membutuhkan kerja keras dan kesabaran yang ekstra.
            “Capek ya ma. Dagangan ini juga tak satupun terjual.” Kataku sambil duduk dan mengusap keringat.
            “Iya Oc, bagaimana bisa laku dagangan ini, bahkan kita tidak kebagian tempat untuk berjualan.”
            “Kenapa tidak kita jajakan saja sambil keliling seperti yang kita lakukan di sekolah ma?” Usulku.
            “Tidak bisa Oc. Di sini sudah ada aturan bahwa pedagang tidak boleh menjajakan dagangan dengan berkeliling. Karena pemerintah telah menyediakan tempat disana.” Rohma menunjuk tempat yang telah penuh dengan pedagang kaki lima.
            “Dan kita adalah salah satu yang tidak beruntung akan hal itu.” Kataku lesu.
            “Yah mungkin memang belum rejeki kita, Ocvi.” Kata Rohma sambil tersenyum.
            Setelah percakapan terakhir hanya diam yang menyelubungi suasana ini, pikiran-pikiran kami terasa kosong karena lelah sekaligus menahan amarah bila ingat tatapan sinis para pedagang kaki lima disana. Meskipun tidak semua yang bersikap demikian, tetapi rata-rata semua begitu. Sangat egois menurutku. Tiba-tiba ada seorang ibu muda yang menggandeng anak perempuan berjalan kearah kami.
            “Mbak, mbak...  permisi mau tanya, bando yang mbak pakai itu sangat lucu bentuknya, anak saya daritadi rewel karena ingin bando yang seperti itu. Apa mbak baru membelinya didaerah alun-alun sini?” tanya ibu itu langsung, tanpa basa-basi. Tetapi tersirat jelas bahwa ibu itu agak sungkan untuk menanyakannya kepadaku. Ku lihat juga pandangan anak perempuan tertuju pada bando yang sedang kupakai ini.
            “Oh, iya bu. Kebetulan saya dan teman saya jual accessories dan bando seperti ini juga termasuk dalam dagangan saya bu. Ini bisa dipilih bu.” Aku langsung membuka tutup keranjang. Rohma yang sedari tadi terlihat lesu kini mulai tersenyum sama halnya denganku.
            “Oh, iya mbak.” Ibu itu mulai sibuk memilih bando untuk anak perempuannya.
            Setelah beberapa saat ibu itu memilih bando untuk anaknya yang kini sudah mulai terlihat tersipu karena telah menemukan bando yang di inginkan, akhirnya ibu itu menanyakan harga.
            “Berapa harga bando ini mbak.” Tanya ibu itu.
            “Tiga Ribu Rupiah bu.” Jawabku dengan senyum yang ramah. Lalu ibu itu membayar dengan uang pas dan akhirnya pergi.
            “Alhamdullillah, rejeki kita hari ini Tiga Ribu Rupiah ma.” Kataku sambil mengibas-ngibaskan uang tiga ribu rupiah diatas keranjang.
            “Iya Oc. Allhamdullillah.” Jawab Rohma disela raut wajah yang terlihat lega. Lalu kami saling melempar pandangan dan diam sejenak. Tawa pun menghiasi wajah kami karena bagaimanapun ini adalah pengalaman pertama kami berjualan accessories di tempat umum seperti ini. Walaupun hanya Tiga Ribu Rupiah yang kami dapat hari ini, tak surut kelegaan ikut serta dalam hati.

Pesan kepada kawan:
            Hay kawan, berbisnis bukanlah suatu hal yang mudah untuk dilakukan. Tetapi, dengan kegigihan dan kerja keras semua itu akan membuahkan hasil yang sangat fantastis. Begitu pula dengan pengalamanku. Dua tahun lalu disaat umurku masih 19 tahun, aku berusaha untuk berontak dalam hidup yang tertutup pagar baja yang menghalangi jalanku untuk mengenal dunia. Hidupku abu-abu, tak pernah terjamah oleh apapun. Masalah cinta pun aku selalu tertutup. Aku tak memiliki satupun teman yang dapat ku percaya untuk mencurahkan isi hati dan pikiranku. Tetapi dengan tulisan di blog ini, aku merasa memiliki teman, memiliki sahabat, memiliki saudara, dan memiliki dunia yang tak pernah melihatku ada. Disinilah aku dapat di kenal, dengan tulisan-tulisanku yang mungkin terlalu ‘drama banget’ tapi inilah hidup kawan. Tapi aku beruntung, di usiaku saat ini memiliki kekasih yang selalu menjadi semangat hidupku. Terimakasih untuk kekasihku.
Next........ sudah terlalu ‘drama banget’ kan.?! Okay, lanjut mengenai pengalamanku berbisnis.
Keluar dari dunia yang abu-abu itu tidak terlalu sulit kawan, karena kamu hanya butuh percaya bahwa kamu bisa melakukan apa yang sebelumnya tidak bisa kamu lakukan. Bagaimana denganku? Yaa,, sama denganmu, aku bukan orang yang pandai berbicara. Berdiri didepan oranglain saja, aku gemetaran dan ingin pingsan rasanya. Tetapi, dengan pengalaman pertamaku menjalani bisnis itu,, secara perlahan aku bisa berinteraksi dengan orang lain.
            Bisnis pertamaku memang tidak berhasil, tetapi dengan aku pernah berani untuk berani, disitulah awal karirku. Saat lulus SMA, aku melanjutkan study di salah satu Universitas ternama di Jember. Disanalah aku mengembangkan bakatku, bakat berbicaraku. Yaa,, meskipun belepotan dan bahasanya masih tidak keruan, tetapi secara perlahan aku bisa memperbaikinya. Jam terbangku memang tidak secepat Roket Astronot yang butuh ...trreeeeeeetttttttttttttt... untuk menuju bulan, ahahaha. Aku masih butuh banyak belajar untuk berbicara dengan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Walaupun sudah berkali-kali aku menjadi ‘Master of Ceremony’ dalam acara-acara Bisnis besar di Jember, atau bahkan menjadi seorang pelatih Renang di ‘Club Arowana Jember’, aku masih belajar untuk berinteraksi dengan orang lain.
            Cita-cita terbesarku di dalam hidup yaitu, dapat membuka peluang kerja bagi orang lain. Dengan cara apa? Dengan cara aku membuka bisnis. So, jangan takut untuk mengembangkan bakatmu dalam berbisnis...
#sebenarnya tulisan ini hanya ‘pacapa’ saja kok kawan... ahaha... tapi bermakna kan.?! J