TIGA RIBU RUPIAH, ALHAMDULILLAH...
Karya
: Ocvida Izmiastuti
UANG. Satu kata yang
tak pernah luput dari kehidupan manusia, begitu pula dengan kehidupanku. Hidup
dari keluarga berkecukupan tak membuatku enggan untuk mencari pendapatan
sendiri. Bermula dari ide-ide cemerlang dan ajakan teman yang memang suka
berbisnis, akhirnya aku pun turut meramaikan dan belajar untuk mandiri agar
menjadi sebuah kebutuhan.
Masa SMA adalah masa pembangunan
dari kepercayaan diri seseorang. Bagaimana tidak, zaman sekarang banyak sekali
remaja yang malu dengan acara mencari
uang dengan cara berdagang. Tetapi semua itu tidak berlaku untukku dan
seorang kawanku yang bernama Rohma.
“Kelas 3 banyak nganggurnya Oc,
bosen jadinya.” Keluh kawanku Rohma.
“Iya nih ma, rasanya ingin berbisnis
untuk mengisi waktu luang tanpa mengganggu konsentrasi sekolah untuk UNAS.”
Balasku sambil merenung.
“Bagaimana jika kita mengelola
usaha, ya untuk belajar mandiri aja.”
“Wah, ide bagus. Bagaimana kalo kita
jual accessories?” usulku.
“Hemm, boleh juga, kebetulan aku
suka membuat kerajinan seperti itu.” Sahut Rohma setuju.
“Oke, kalau begitu untuk modalnya
bisa kita tabung uang jajan kita selama tiga hari, kira-kira cukuplah.”
“sip dah Ocvi.” Rohma meng-iyakan.
Tiga hari aku menabung, begitu pula
dengan Rohma juga menabung, hingga akhirnya uang hasil menabung terkumpul dan
cukup untuk membeli bahan-bahan untuk membuat accessories. Sepulang sekolah aku
selalu mampir ke grosiran untuk membeli bahan-bahan yang diperlukan. Membuat
accessories seperti jepit, bando, gelang, dan bros tidak semudah yang
dibayangkan untuk pemula sepertiku, tetapi berkat bantuan Rohma aku menjadi
terbiasa membuat itu semua.
Sudah terkumpul beberapa accessories
yang telah jadi dibuat dengan bahan seadanya, lebih dari 5 bando kawat yang
dilapisi dengan kain-kain bergambar yang sangat lucu, lalu 3 bros flanel, dan 2
jepit pita. Dagangan accessories aku bawa ke sekolah dan aku jajakan disetiap
kelas saat istirahat. Rohma kawanku juga ikut mendampingi aku berkeliling. Dari
seluruh kelas XII hingga kelas X kami mempromosikan dagangan, hingga ruang guru
pun juga menjadi sasaran manis untuk menjajakan dagangan accessories kami.
Alhasil, dagangan dihari pertama pun laris.
Pengalaman baru itu menumbuhkan
semangat lebih untuk menjalankan bisnis kecil ini. Hingga akhirnya aku dan
Rohma lebih giat melakoni kegiatan membuat accessories lebih banyak dari
sebelumnya.
Hari minggu adalah hari tersantai
dibanding dengan hari-hari lain, karena dihari minggulah aku bisa lebih leluasa
berdagang accessories di alun-alun kota bersama Rohma. Jam 4 pagi kami telah
menjejakkan kaki di pelataran Masjid Jami’ di barat daya Alun-alun kota Jember.
Indahnya langit yang masih kebiru-biruan dengan berhiaskan satu bintang timur
yang menghangatkan pandangan di dinginnya pagi ini. Satu keranjang penuh
accessories yang akan kami jual kepada pejalan kaki pada minggu pagi ini.
Seusai sholat subuh di masjid Jami’ kami langsung melancarkan aksi berdagang
kami di Alun-alun. Beribu angan telah merangsang setiap saraf otak untuk
menuliskan kata “LARIS” dijidat kami
untuk semua dagangan ini.
Senyum, tegur sapa, canda tawa tak
nampak sama sekali pada raut wajah pedagang-pedagang lain. Aku hanya diam dan
terus berjalan menyusuri jalan-jalan yang telah dipenuhi oleh banyak sekali
pedagang kaki lima yang telah melebarkan alas-alas untuk dagangan mereka.
Sehingga aku dan Rohma hanya bisa menoleh kanan kiri mencari tempat untuk
berdagang. Lebih dari satu jam aku dan rohma mencari tempat untuk stan
berjualan accessories, tetapi kami belum menemukan tempat untuk menggelar alas.
Sedangkan pejalan kaki semakin banyak berlalu lalang dan semakin sulit bagi
kami untuk berjalan membawa keranjang dan tikar, dan terik matahari pun sudah
mulai terasa memanaskan tubuh yang telah dilumuri banyak keringat. Akhirnya
kami memutuskan untuk berjalan menuju teduhnya pohon beringin dipojokan
Alun-alun kota Jember. Sungguh lelah tubuhku yang mungil ini, semua tidak
seperti seperti angan-angan tentang kemudahan berdagang di tempat seperti ini. Persaingan
memang membutuhkan kerja keras dan kesabaran yang ekstra.
“Capek ya ma. Dagangan ini juga tak
satupun terjual.” Kataku sambil duduk dan mengusap keringat.
“Iya Oc, bagaimana bisa laku
dagangan ini, bahkan kita tidak kebagian tempat untuk berjualan.”
“Kenapa tidak kita jajakan saja
sambil keliling seperti yang kita lakukan di sekolah ma?” Usulku.
“Tidak bisa Oc. Di sini sudah ada
aturan bahwa pedagang tidak boleh menjajakan dagangan dengan berkeliling.
Karena pemerintah telah menyediakan tempat disana.” Rohma menunjuk tempat yang
telah penuh dengan pedagang kaki lima.
“Dan kita adalah salah satu yang
tidak beruntung akan hal itu.” Kataku lesu.
“Yah mungkin memang belum rejeki
kita, Ocvi.” Kata Rohma sambil tersenyum.
Setelah percakapan terakhir hanya
diam yang menyelubungi suasana ini, pikiran-pikiran kami terasa kosong karena
lelah sekaligus menahan amarah bila ingat tatapan sinis para pedagang kaki lima
disana. Meskipun tidak semua yang bersikap demikian, tetapi rata-rata semua
begitu. Sangat egois menurutku. Tiba-tiba ada seorang ibu muda yang menggandeng
anak perempuan berjalan kearah kami.
“Mbak, mbak... permisi mau tanya, bando yang mbak pakai itu
sangat lucu bentuknya, anak saya daritadi rewel
karena ingin bando yang seperti itu. Apa mbak baru membelinya didaerah
alun-alun sini?” tanya ibu itu langsung, tanpa basa-basi. Tetapi tersirat jelas
bahwa ibu itu agak sungkan untuk menanyakannya kepadaku. Ku lihat juga
pandangan anak perempuan tertuju pada bando yang sedang kupakai ini.
“Oh, iya bu. Kebetulan saya dan
teman saya jual accessories dan bando seperti ini juga termasuk dalam dagangan
saya bu. Ini bisa dipilih bu.” Aku langsung membuka tutup keranjang. Rohma yang
sedari tadi terlihat lesu kini mulai tersenyum sama halnya denganku.
“Oh, iya mbak.” Ibu itu mulai sibuk
memilih bando untuk anak perempuannya.
Setelah beberapa saat ibu itu
memilih bando untuk anaknya yang kini sudah mulai terlihat tersipu karena telah
menemukan bando yang di inginkan, akhirnya ibu itu menanyakan harga.
“Berapa harga bando ini mbak.” Tanya
ibu itu.
“Tiga Ribu Rupiah bu.” Jawabku
dengan senyum yang ramah. Lalu ibu itu membayar dengan uang pas dan akhirnya
pergi.
“Alhamdullillah, rejeki kita hari
ini Tiga Ribu Rupiah ma.” Kataku sambil mengibas-ngibaskan uang tiga ribu
rupiah diatas keranjang.
“Iya Oc. Allhamdullillah.” Jawab
Rohma disela raut wajah yang terlihat lega. Lalu kami saling melempar pandangan
dan diam sejenak. Tawa pun menghiasi wajah kami karena bagaimanapun ini adalah
pengalaman pertama kami berjualan accessories di tempat umum seperti ini.
Walaupun hanya Tiga Ribu Rupiah yang kami dapat hari ini, tak surut kelegaan
ikut serta dalam hati.
Pesan kepada kawan:
Hay kawan, berbisnis bukanlah suatu
hal yang mudah untuk dilakukan. Tetapi, dengan kegigihan dan kerja keras semua
itu akan membuahkan hasil yang sangat fantastis. Begitu pula dengan
pengalamanku. Dua tahun lalu disaat umurku masih 19 tahun, aku berusaha untuk
berontak dalam hidup yang tertutup pagar baja yang menghalangi jalanku untuk
mengenal dunia. Hidupku abu-abu, tak pernah terjamah oleh apapun. Masalah cinta
pun aku selalu tertutup. Aku tak memiliki satupun teman yang dapat ku percaya untuk mencurahkan isi hati dan
pikiranku. Tetapi dengan tulisan di blog ini, aku merasa memiliki teman,
memiliki sahabat, memiliki saudara, dan memiliki dunia yang tak pernah
melihatku ada. Disinilah aku dapat di kenal, dengan tulisan-tulisanku yang
mungkin terlalu ‘drama banget’ tapi
inilah hidup kawan. Tapi aku beruntung, di usiaku saat ini memiliki kekasih
yang selalu menjadi semangat hidupku. Terimakasih
untuk kekasihku.
Next........
sudah terlalu ‘drama banget’ kan.?! Okay, lanjut mengenai pengalamanku
berbisnis.
Keluar
dari dunia yang abu-abu itu tidak terlalu sulit kawan, karena kamu hanya butuh
percaya bahwa kamu bisa melakukan apa yang sebelumnya tidak bisa kamu lakukan. Bagaimana
denganku? Yaa,, sama denganmu, aku bukan orang yang pandai berbicara. Berdiri didepan
oranglain saja, aku gemetaran dan ingin pingsan rasanya. Tetapi, dengan
pengalaman pertamaku menjalani bisnis itu,, secara perlahan aku bisa
berinteraksi dengan orang lain.
Bisnis pertamaku memang tidak
berhasil, tetapi dengan aku pernah berani
untuk berani, disitulah awal
karirku. Saat lulus SMA, aku melanjutkan study
di salah satu Universitas ternama di Jember. Disanalah aku mengembangkan
bakatku, bakat berbicaraku. Yaa,, meskipun belepotan dan bahasanya masih tidak
keruan, tetapi secara perlahan aku bisa memperbaikinya. Jam terbangku memang tidak
secepat Roket Astronot yang butuh ...trreeeeeeetttttttttttttt...
untuk menuju bulan, ahahaha. Aku masih butuh banyak belajar untuk berbicara
dengan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Walaupun sudah berkali-kali aku menjadi
‘Master of Ceremony’ dalam
acara-acara Bisnis besar di Jember, atau bahkan menjadi seorang pelatih Renang
di ‘Club Arowana Jember’, aku masih
belajar untuk berinteraksi dengan orang lain.
Cita-cita terbesarku di dalam hidup
yaitu, dapat membuka peluang kerja bagi orang lain. Dengan cara apa? Dengan cara
aku membuka bisnis. So, jangan takut untuk mengembangkan bakatmu dalam
berbisnis...
#sebenarnya
tulisan ini hanya ‘pacapa’ saja kok
kawan... ahaha... tapi bermakna kan.?! J