Matematika! Pelajaran tak berwarna yang selalu membuat darah Cio
membeku. Pelajaran yang selalu menciptakan kutukan-kutukan baru untuk
Cio. Cio adalah gadis manis, cantik dan imut yang selalu membenci
pelajaran matematika. Baginya matematika adalah hukuman dunia yang
selalu merajai harinya. Tak jarang Cio selalu bolos 2 jam pelajaran
matematika dan lebih memilih untuk berdiam diri di bangku paling pojok
perpustakaan.
“Gini... ni... gue paling males ngadepin
pelajaran matematika. Ngajak ribut aja tuh matematika.!” Gerutu Cio
kepada dirinya sendiri saat ia baru memasuki ruang perpustakaan.
Keadaan ruang perpustakaan saat jam pelajaran sama seperti biasanya,
sangat sepi. Namun pada pagi ini ada yang berbeda. Bangku pojok yang
biasanya menjadi tempat favorit Cio saat bolos pelajaran matematika,
sekarang sedang diduduki oleh seorang cowok. Cowok berpakaian seragam
sekolah rapi dengan lembaran kertas diatas meja dan bolpoin
digenggamannya, menatap dengan serius lembaran kertas dihadapannya dan
sesekali ia mengayunkan bolpoin diatasnya. Cio memperhatikan cowok itu
dengan cermat, dari ujung kaki hingga ujung kepala.
‘Hem.. sepertinya dia bukan murid sini deh!’ Batin
Cio dengan memasang wajah penasarannya. Cio menghampiri cowok itu dan
waktu yang bersamaan ia merapikan lembaran-lembaran kertas yang ternyata
adalah lembaran soal-soal matematika. Cowok itu menoleh kearah Cio
yang sedari tadi masih memutar otaknya menerka-nerka siapa cowok itu.
Tak disangka-sangka saat cowok itu menoleh pada dirinya, Cio terpaku
menatap wajah laki-laki yang kini berhadapan dengannya. Detak jantungnya
tak beraturan. DEG.
Cio segera tersadar dengan
tingkahnya yang menurutnya terlalu memalukan untuk dirinya sendiri yaitu
‘Menatap Mata Cowok’, dan ia segera menundukkan kepalanya. Lalu ia
berusaha bersikap wajar dan membuka pembicaraan.
“ee...ee...siapa lo? Ngapain disini?”tanya Cio yang tampaknya masih setengah gugup.
“Gue Adit, anak baru disekolah ini. Dan ini gue diminta ngerjain tugas
matematika sebelum mengawali hari pertama gue disini.” jawab Adit dengan
wajah yang sangat datar.
Cio melirik lembaran-lembaran kertas yang telah tertata rapi diatas meja. Oh... MaTiMaTiKA... batin Cio sambil mencibirkan bibirnya.
“Nah, lo sapa? Ngapain disini? Bukannya ini waktunya jam pelajaran?” tanya Adit menyelidik.
Belum sempat Cio menjawab, dari kejauhan ia melihat Pak Owi guru
matematikanya berjalan menuju perpustakaan. Cio langsung meloncat dan
segera menyelundup di kolong meja. Adit hanya terbengong-bengong melihat
Cio yang lagi geridu seperti orang kena gempa bumi aja!
“pliz...pliz...pliz... bantu gue. Gue lagi bolos pelajaran Matematika
nih!” Mohon Cio kepada Adit dengan memasang tampang memelas dan itu juga
merupakan sebuah jawaban dari pertanyaan Adit tadi.
Adit hanya tersenyum samar dan lagi-lagi membuat jantung Cio berdetak
kencang bahkan semakin terasa mau copot. Bukan karena Adit menatap
matanya tetapi kali ini karena ia tak tau apa arti senyuman samar itu.
Menurut Cio senyum itu adalah senyuman yang berarti TIDAK. Mampuslah Cio
jika Adit tidak bisa diajak kompromi. Detak jantung Cio semakin cepat. Cio hanya bisa melihat setengah badan Adit.
Tiba-tiba Adit beranjak dari kursinya. Bibir Cio berkomat-kamit sambil
menggenggam tangan kanannya yang dingin. Ia sedikit lega karena Adit
telah pergi dan itu artinya Pak Owi tidak akan pergi ke tempat itu. Cio
hendak keluar dari tempat persembunyiannya, tapi suara langkah kaki
membekukan Cio yang tak dapat bergerak sama sekali. Mau mundur ke tempat
semula nggak nutut. Suara langkah panjang semakin mendekat dan Cio
hanya bisa menutup matanya dengan kepala yang masih setengah keluar dari
tempat persembunyiannya. Tiba-tiba ada satu tangan yang mendorong
kepalanya masuk kembali ke tempat persembunyiannya.
“emmm... ini pak tugas yang tadi sudah saya kerjakan.” Kata Adit sambil menyerahkan lembar jawaban beserta soalnya.
Pak Owi menerima lalu mengamati lembar jawaban Adit.
“Hmmm... yak....” Sesekali Pak Owi mengulangi kalimatnya, “Hmmm...
yak...”. Haha. “ oke... sudah bagus pengerjaanya. Ini ada soal lagi
untuk kamu kerjakan, bapak harap pada saat bel istirahat berbunyi kamu
sudah menyelesaikannya.” Kata Pak Owi. “Hmmm... ckck.. sekitar satu jam
lagi lah.” Lanjut Pak Owi sambil melihat jam tangan hitam yang
dipakainya.
“Oh...siap pak.” Kata Adit sambil menerima lembar soal baru.
“Oke bagus Adit. Bapak tunggu nanti diruangan bapak,” kata Pak Owi sambil menepuk pundak Adit.
“Baik pak.” Jawab Adit.
Pak Owi pergi dari tempat itu meninggalkan Adit dan bocah tengil yang
sedang memanjatkan puji syukur kepada tuhan dikolong meja perpustakaan.
Haha.
Adit berlutut dan ia mulai menahan tawa ketika
melihat Cio sedang memanjatkan puji syukur dengan mata tertutup dan
mulut yang berkomat-kamit. Sesekali Cio memancungkan bibirnya saking
cepatnya kata yang dia ucapkan.
“Heh.. Pak Owinya udah
balik tuh!” Kata Adit mengejutkan Cio. Adit mengulurkan tangannya
membantu Cio keluar dari tempat persembunyiannya.
“Emmm... Makasih ya.” Kata Cio sambil tersenyum.
“Makasih untuk apa?” tanya Adit.
“Makasih, karena lo udah nolongin gue.”
“Okelah... sama-sama.” Jawab Adit.
“Gue bisa balas apa nih buat tanda terimakasih?” tawar Cio.
“Hmmm... boleh juga tuh! Lo bantu gue kerjakan soal ini aja deh!” Adit
menunjuk selembar soal matematika, spontan, itu membuat bola mata Cio
yang sipit melotot.
“HAH? Bantu Ngerjain Matematika?”
Cio tak habis fikir. “Sekarang gue bolos karena gue benci Matematika
tau!” curhat Cio dengan nada agak tinggi tapi terkesan pasrah.
“Lo nggak mau.? Hmmm... Nah, kan lo sendiri yang nawarin!” Wajah Adit
terkesan datar sambil berlagak seperti Rentenir. Haha. “Hayo?” lanjutnya
sambil melipat tangan didepan dada. Cio menggigit bibir bawahnya.
“Oke deh...oke deh...” Cio meng-Iya-kan dengan pasrah.
Tau gitu nggak usah deh gue nawarin tanda terimakasih ke dia! Huh—“.! Batin Cio.
“BTW. Nama lo sapa?” tanya Adit mengeluarkan sedikit rasa penasarannya
terhadap Cio, sambil duduk dan menyiapkan pekerjaannya.
“Nama gue Cio.” Jawab Cio tanpa semangat. Dan hanya kalimat itu yang
keluar dari mulut Cio. Cio terlihat tidak nyaman dengan adanya soal
matematika. Ia mulai membuka soal itu dan mulai membaca soal Nomor 1....
lalu ia mengalihkan pandangannya ke Nomor berikutnya, Nomor 2.... lalu
Nomor 3... Nomor 4.... Nomor 5........
‘HUWWAAAAAA...... GUE NGGAK NGERTIIIIIIIII....!’ Teriak Cio dalam hati sambil mengacak-acak Poninya.
“Tau’ deh! Gue nggak Ngerti! Gue nemenin lo aja ya disini.” Kata Cio tanpa dosa.
“Bego’ Lo!” kata Adit membuat mata Cio melotot. “Sini soalnya.” Lanjut
Adit sambil melirik Cio yang sedang mengkerut kesal padanya.
“Ya udah. Lo yang nulis, gue yang ngitung! bisa?” lanjut Adit lagi.
“Iya deh...” jawab Cio pasrah tapi masih dongkol dibilang BEGO.
“Eh... tunggu..tunggu... Tapi lo bisa nulis kan? Ntar malah lembar
jawaban gue ancur gara-gara lo nggak bisa nulis.” Goda Adit membuat Cio
tambah dongkol.
“Enak aja,emang gue nggak sekolah TK
apa? Heh,,.” Jawab Cio sambil merebut bolpoin dan lembar jawaban dari
Adit. Adit ingin tertawa melihat tingkah Cio. Tapi ia tetap berusaha
terlihat COOL.
“Tapi gue masih ragu ama kemampuan lo!
Jangan-jangan 1+1 aja lo nggak tau berapa hasilnya. Heeh... payah!” goda
Adit lagi yang membuat Cio semakin dongkol kwadrat. Tapi ia berusaha
untuk tetap wajar.
“Ihhh... 1+1 kan sama dengan 2.
Kamsek lo, masa orang cantik kayak gue nggak tau sih! HmmmHhh..!” jawab
Cio sambil memalingkan wajahnya sehingga rambut panjangnya yang terikat
menghempas wajah Adit. Adit terdiam. Baru kali ini ia bertemu dengan
gadis seperti Cio. Pikirnya. Tapi, tunggu tunggu.... Pertemuan
pertamanya terasa tidak asing baginya. Adit memperhatikan Cio yang kini
sedang menuliskan nama, kelas, no. Absen di lembar jawaban Adit. Adit
menyipitkan matanya dan mulai menjelajah tiap ruang memory otaknya untuk
mengingat-ingat siapa Cio sebenarnya.
“Eh... Nama
panjang lo siapa? kelas? No. absen?” tanya Cio tanpa menoleh ke Adit.
Namun pertanyaan Cio tidak mampu membuyarkan ritual penjelajahan ruang
memory otaknya Adit.
“Eh... iya, lo kan murid baru.
Belom tau kan kelas mana dan no. Absennya berapa.” Lanjut Cio sambil
mengambil tip-X tanpa menunggu jawaban dari Adit.
Adit
tetap fokus pada pencariannya. Dan tak lama kemudian , Adit ingat
sesuatu. Adit terkejut bukan main, ia menarik nafas panjang dengan
cepat. Ia baru menyadari. Adit kenal Cio!

cinta
itu berkala. tidak memandang siapa yang dicintai dan mencintai. dan
ketika cinta menjauh, kita mulai merasa bahwa dia berharga dan tak
terganti.
hanya saja jika cinta mulai memudar ketika telah bersama,, barulah kita
sadar jika bukan dialah orang yang sesungguhnya kita cinta....
cinta membutakan segalanya, termasuk mata kita. maka itulah cinta yang
sesungguhnya. karena cinta tak butuh alasan, jika cinta butuh alasan
ketika alasan itu pergi apakah cinta juga harus pergi.?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar