“Aku
minta putus dari kamu,” terdengar suara dari sosok laki-laki yang Vio cinta.
“Apa
alasan kamu minta putus? Apa salahku?” Tangis Vio pecah diatas motor plat merah yang diparkir dipinggir jalan.
“Aku
bingung mau jelasinnya gimana. Yang jelas aku sumpek sama kamu, aku sudah gak
nyaman sama kamu, aku tetep minta putus!” Kata Obby datar dengan wajah tak
bersalah.
“Tapi
kenapa? Hah? Apa salahku? Aku fikir selama ini kita gak ada masalah?” Pertanyaan
yang menuntut berjejal kambuh terlontar dari mulut Vio yang bergetar.
“Memang, tapi aku sudah gak
nyaman.” Jawab Obby dibawah terpaan cahaya kuning lampu jalan raya yang remang.
Tampaknya Obby mulai terlihat jengkel menanggapi pertanyaan Vio.
“Aku
gak habis fikir, kenapa kamu begitu! Aku masih ingat janji-janji kamu buat aku!
Mana janji-janjimu itu?” Vio gemetar ingin marah tapi apa daya didepan Obby.
“Maaf
aku pernah janji sama kamu.” Kata Obby datar.
.........
“Hey...
Nglamun aja lo...!” Vio terkejut ketika pundaknya ditepuk oleh seorang temannya
yang bernama Dwi.
“Hah?
Aku nggak ngelamun yeee...!” Cibir Vio menghindar dari terkaan temannya.
“hemmm...
ngales.” Balas cibir Dwi. “Ke kantin yuk! Laper nih!” Lanjut Dwi.
“Ayo...”
Jawab Vio.
Disepanjang
ia berjalan, Vio masih memikirkan kejadian yang sudah lalu bersama Obby.
--------------****-------------
Setahun
berlalu. Hari-hari cinta Vio terlihat bahagia sejak ia jadian dengan Obby.
Liku-liku percintaannya juga selalu mengiringi langkahnya. Cinta, kasih sayang,
cemburu, bahagia, romantis. Tetapi hanya 1 kata yang tak pernah Vio berikan
kepada Obby, “MARAH”.
Vio
selalu mengalah menghadapi rintangan yang ada saat ia lalui bersama Obby. Obby
yang selalu saja marah tanpa sebab dan sering kali membuat kesalahan,tak
membuat Vio marah kepadanya. Vio hanya menuntut penjelasan dan memaafkannya.
Tetapi, disaat tidak sengaja Vio melakukan kesalahan atau memang terpaksa
karena sesuatu hal, sulit sekali Vio mendapat kata “maaf” dari Obby. Walaupun
begitu, hidup Vio selalu bahagia dan berwarna. Tidak pernah sekalipun ada kata
“putus” diantara mereka berdua se-marah apapun mereka.
Hari
minggu, 24 Oktober.
Hari
spesial Vio menjalani kehidupan baru diawal umur 16 tahun. Hari ulang tahun
pertama ia memiliki seorang pacar. Dan hari ulang tahun pertama ia mendapatkan
kejutan dari seorang laki-laki.
Pada
pertengahan malam di hari ulang tahunnya. Tepat jam 24.00 WIB, pergantian malam
menjelang pagi. Detik-detik 23.00 ke 24.00. bergesernya tanggal 23 ke 24. MisCall
sebanyak 24x, SMS sebanyak 24x, isi SMS dengan ucapan selamat ulang tahun
disertai emotion cium sebanyak 24x
menghiasi layar handphone Vio.
Tetapi,Vio terlelap tidur.
Ia membuka handphone pada pagi harinya. Ia tersenyum dan langsung bangkit dari
tidurnya. Ia berdiri didepan kaca memperhatikan bayang dirinya. Ia menatap mata
sipit yang selalu berbinar di terpa cahaya. Manis, cantik, tapi mungil. Tubuh
mungilnya tak pernah tampak seperti kekurangan baginya. “toh aku pernah jadi Bintang Arena di koran bertajuk ‘Postur Kecil Siapa
Takut’ ngapain minder”. Itu yang selalu menjadi Motto hidup Vio. Selalu
berpikir positif,berusaha untuk percaya diri, dan nggak pernah jaim di khalayak
umum. Walaupun kemampuannya rata-rata, namun ia sangatlah cerdik. Ia bisa
menutupi semua kekurangannya dengan cara selalu tersenyum dan tampil ceria.
Ia
tersenyum pada bayang dirinya di kaca dan dengan sigap menyambar handphonenya. Ia mengetik nomor Obby
tanpa harus melihat daftar kontak sim-nya, karena memang Vio telah hafal tiap
angka nomor HP Obby.
“assalamu’aikum
pi...” Vio memulai percakapan saat teleponnya telah di angkat Obby.
“hmmm...
walaikussalam mi...” jawab Obby di seberang.
“ihhh...
pipi,, so sweet deh,, makasih ya pi ucapannya.” Kata Vio genit.
“he’em
mi sama-sama. Eh mi... jam 6 pagi siap-siap ya, aku jemput di tempat biasanya
mi..yaudah ya mi. Cepetan gih siap-siap. Wassalam...”
tuuutttt...tttuutttt...tuuuttt...
“hallo
pi.? Pi.? Yah kok di tutup sih.” Vio cemberut manja. Tapi di dalam hatinya, ia
bahagia karena Obby adalah orang pertama yang mengucapkan hari ulang tahunnya.
Vio
menoleh ke arah jam tangannya yang selalu setia menemani Vio saat tidur maupun
menjalani harinya. “udah jam 5 nih. Kurang 1 jam lagi nih. Sholat plus siap-siap...
hmmm cukup...” perhitungan Vio.
Setelah
semua selesai Vio mengambil handphonenya.
Ternyata Obby telah sampai di tempat biasa ia bertemu. Dekat sekali dengan
rumah Vio. Vio melihat jam tangannya lalu ia bergumam “hmmm... belum jam 6...”.
Ia segera berjalan menuju tempat biasa.
Senyum
Obby mengembang dari kejauhan. Vio balas tersenyum dengan perasaan bahagia.
“Mimi
ku sayang. Selamat ulang tahun ya...” sambut Obby setelah Vio ada di
hadapannya.
“Lho
kan tadi sudah ngucapin pi.” Kata Vio heran.
“Ia
mi. Tapi kan pipi belum ngucapin langsung sayang.” Kata Obby sambil memegang
tangan Vio. Vio tersipu. Pipinya yang cubhie merah merona.
“Eh
mi, kamu belum mandi ya?” lanjut Obby.
“Hmmmm...”
Vio pura-pura berpikir. “heheheehe... iya pi.” Jawab Vio sambil nyengir.
“hmmm...
pantesan... wangi.” Kata Obby.
“Bilang
aja bau acem pi. Hmmhh...” kata Vio cemberut.
“Ih.beneran
mimi.” Kata Obby sambil mengeluarkan jurus khas.nya. yaitu memasukkan
telunjuknya ke lubang hidung Vio. Dan itu membuat Vio bersin-bersin.
“ah
pipi...”
“hehe.ayo
mi berangkat.” Ajak Obby.
“kemana
pi?”
“Ayok
dah ikut mi.”
Vio
naik ke motor Jupiter MX merah milik Obby. Vio merasa deg degan. Ia merasa
senang. Hari yang penuh dengan canda tawa, serta kejutan yang tak pernah
terfikirkan oleh Vio sebelumnya.
“Mi,
majuan dong duduknya.” Kata Obby sambil nyetir.
“Hah.?
Majuan pi.? Ini udah maju pi. Gonceng gini juga nyaman kok pi, tenang aja nggak
kira jatuh kok..” kata Vio polos banget. Obby hanya tersenyum dibalik helm
merahnya. ‘Padahal-padahal jaraknya 3x
telapak tangan, fiuh.’ Pikir Obby.
Waktu
perjalanan tidak sebentar. Jalan-jalan yang berliku dan menanjak tak menjadi
masalah karena mereka menikmati perjalanan itu dengan hati yang bahagia.
Mendung hari itu bagi mereka adalah pagi yang cerah. Seakan-akan rintik gerimis
dan hembusan angin adalah kehangatan yang membarakan api cinta untuk mereka
berdua.
Pohon-pohon
cemara bergoyang ria menggambarkan rasa bahagia. Gubuk-gubuk kecil yang
dibangun dengan tumpukan jerami terlihat indah diantara kabut-kabut yang
menyelimuti pagi itu. Hingga akhirnya mereka tiba disebuah tempat wisata yang
sangat indah. PUNCAK.
Vio
memandang kagum tempat yang mereka kunjungi.
“Wah.
Keren banget pi. Aku sudah 2x loh kesini sama sekarang. Yang pertamakali waktu
aku kelas 3 sd.” Wajah Vio sangat polos dan lugu. Obby hanya tersenyum melihat
Vio terkagum-kagum.
Lama
sekali mereka berdua berjalan-jalan memutari area wisata Puncak. Membeli tahu petis yang masih hangat membuat mereka sedikit
keyang. Dan tiba-tiba Obby berhenti tepat pada sebuah ayunan sambil memegang
tangan Vio.
“Mi.
Kamu cinta aku?” tanya Obby tiba-tiba. Membuat Vio Blank.
“hmm..
iya pi aku cinta kamu. Kok tiba-tiba tanya begitu pi?”
“Janji
ya mi jangan pernah tinggalin aku.” Kata Obby.
“iya
pi janji, asal pipi juga punya janji yang sama.” Jawab Vio mantap.
“iya
mi.” Jawab Obby tersenyum lega. Lalu duduk di ayunan.
“Mi...
tutup mata gih.” Suruh Obby.
“hah.!
Emang ada apa pi?” tanya Vio.
“udah
tutup aja matanya.”
Vio
menutup mata sambil menimbang-nimbang rasa penasarannya.
“Nah..
buka mata mi...” Vio membuka mata. “Happy birthday ya mi.”
Sebuah
Novel tttiiiiiittttt karya ttttiiiitttt. Bercover biru tebal kira-kira 5cm tergenggam diantara jari-jari
panjang Obby. Vio kenal novel itu!
“Ini
untuk mimi. Mimi kan suka baca novel makanya pipi beli novel buat mimi.” Kata
Obby.
Deg...deg...
Vio berusaha tersenyum saat menerima novel itu, walau dadanya terasa sesak.
“hmmm... gak suka ya mi.?” Tanya Obby.
“Suka kok pi. Suka banget malah.” Wajah Vio
berbinar. Namun dalam lubuk hatinya ia merasakan sakit.
Novel
itu... kenapa Obby memilih novel itu untukku... novel yang bercerita tentang
cinta namun akhir cinta tak bahagia... apakah ini suatu pertanda buruk tuhan...
aku tak mau kehilangan dia tuhan. Aku cinta dia. Aku sayang dia.
“Emm... pi.. aku boleh tanya?”
tanya Vio tiba-tiba.
“boleh mi. Apa.?”
“kenapa pipi pilih novel itu buat
mimi.?”
“Pipi bingung mi mau pilih yang
mana. Ya udah deh pipi ambil acak.” Cengir Obby. “kenapa mi? Mimi udah baca?
Jelek ta mi?” lanjut Obby.
“Ah... mimi Cuma tau isinya aj
kok pi. Bagus kok ceritanya.” Jawab Vio. Tapi
ceritanya ‘sad ending’. Aku nggak mau cerita kita berakhir seperti itu. Lanjut
Vio dalam batin.
Vio menyandarkan kepalanya dipundak Obby
dan ia merasakan kasih yang sangat dalam. Embun pagi menyapu tubuh mereka
berdua dengan lembutnya, memberi kesejukan yang menenangkan.
Vio menegakkan tubuhnya dan ia menatap
lurus kedepan sambil tersenyum.
“Aku
ingin menjadi udara....” kata vio sambil tetap menatap lurus kedepan. Obby
menoleh. “Aku ingin menjadi embun...” lanjut Vio. “Aku juga ingin menjadi hujan...”
lanjutnya lagi, lalu berdiri memejamkan mata dan menarik nafas panjang sambil
melentangkan tangannya,dan berkata......
“kau telah menjadi udara yang
telah membuatku hidup. Kaulah nafas yang selalu kuhirup dan selalu kubutuhkan. Kau
permata yang berharga dan sangat mahal, yang pertama kali ku miliki. Menuaikan
tiap lembaran-lembaran kertas putih menjadi lembar cerita, menjadikan angan
yang belum ada menjadi ada dan nyata.
Kau
telah menjadi embun. Memberi nuansa kabut dalam pandanganku. Sehingga aku tak
mampu mendua, sehingga aku tak mampu menoleh pada siapapun selain dirimu. Kaulah
kabut yang selalu melindungiku, memberi kaindahan walau kadang tak berwarna dan
tak berarti apa-apa. Tapi bagiku, tiap gerakmu adalah gerakku dan itu sangatlah
berarti walau ku tau bagimu semua itu hanyalah angin yang lewat begitu saja.
Kau
telah menjadi hujan. Hujan yang mampu menciptakan warna pelangi. Dan pelangi
itulah yang telah memberikan warna dikehidupanku. Kau penuhi setiap langkahku
dengan warna yang kau miliki. Merah... jingga... kuning... hijau... biru...
nila... dan ungu... Dan warna itu telah menyamarkan kehidupanku yang tak
berwarna menjadi sangat berwarna. Dan aku ingin, aku bisa menjadi udara, embun,
dan hujan dalam hidupmu.” Kata-kata Vio penuh makna dan ketulusan.
“Bagus
banget mi puisinya. Nyiptain sendiri ya mi....” kata Obby biasa.
‘TOOOEEETTT.... padahal aku bicara penuh
penghayatan. Ditanggepinya kok biasa aja sih...’ batin Vio sedih, tapi ia
berusaha untuk tetap tersenyum.
“He’em
pi... aku nyiptain sendiri puisinya.” Kata Vio sambil tersenyum.
“Hmmm...
pi... pulang yuk udah jam 8 nih..” ajak Vio.
“hmmm...
ayok...”
********
Hari-harinya berjalan seperti
biasa bersama Obby. Namun, sepertinya jarak antara mereka semakin menjauh dan
mulai tak terjamah. Pengertian tak berpihak kepada mereka lagi. Grafik
pertengkaran semakin meningkat dan telah banyak menguras air matanya bersama
kerinduan kasih yang pernah membelai lembut rambut kepalanya.
Namun seorang Vio mampu
bertahan dalam kegelapan yang sedang menyelimutinya. Tak kuasa mampu menampung
amarahnya walau kadang kala air sucinya jatuh membasahi rona pipinya. Tetap
berdiri walau diibaratkan hanya berdiri dengan satu kaki. Ia tetap tersenyum
ceria menghadapi harinya. Kawan-kawan yang biasanya selalu setia mendengarkan
cerita cintanya dengan Obby tidak pernah merasakan perubahan Vio yang
sebenarnya ada masalah dalam ruang cintanya. Karena mereka fikir pasangan Vio
dan Obby selalu baik-baik saja. Dan yang terpenting adalah, Vio pintar menutupi
masalahnya kepada semua orang. Hingga
akhirnya.....................................
Pada bulan Juli, hari jum’at
malam. Sejarah itu terjadi. Siang yang masih penuh canda dan keromantisan walau
lagi-lagi hanya lewat alat komunikasi, kini tak berarti apaa-apa.
“Aku
minta putus dari kamu,” terdengar suara dari sosok laki-laki yang Vio cinta.
“Apa alasan kamu minta putus? Apa
salahku?” Tangis Vio pecah diatas motor plat
merah yang diparkir dipinggir jalan.
“Aku bingung mau jelasinnya gimana.
Yang jelas aku sumpek sama kamu, aku sudah gak nyaman sama kamu, aku tetep
minta putus!” Kata Obby datar dengan wajah tak bersalah.
“Tapi kenapa? Hah? Apa salahku? Aku
fikir selama ini kita gak ada masalah?” Pertanyaan yang menuntut berjejal
kambuh terlontar dari mulut Vio yang bergetar.
“Memang,
tapi aku sudah gak nyaman.” Jawab Obby dibawah terpaan cahaya kuning lampu
jalan raya yang remang. Tampaknya Obby mulai terlihat jengkel menanggapi
pertanyaan Vio.
“Aku gak habis fikir, kenapa kamu
begitu! Aku masih ingat janji-janji kamu buat aku! Mana janji-janjimu itu?” Vio
gemetar ingin marah tapi apa daya didepan Obby.
“Maaf aku pernah janji
sama kamu.” Kata Obby datar.
Dan
itu akhir perjalanan cinta pertama Vio. Bahagia tapi menyakitkan. Munkin 1
tahun 1 bulan 3 minggu itu adalah waktu yang masih baru, tapi untuk
menjalaninya bukanlah waktu yang sangat singkat.
Kini
semua hanyalah sebuah kenangan semata, pelajaran yang sangat berarti untuk
seorang Vio. Ia sadar bahwa cinta itu tidak ada yang abadi. Yang abadi hanyalah
sebuah kenangan yang kini hanyalah masa lalu yang tak akan pernah terulang
kembali. Semua itu adalah pelajaran agar ia bisa lebih hati-hati untuk memilih
sebuah cinta yang pasti. Dan membuatnya sadar bahwa sebuah janji itu tak
sepantasnya ia ucapkan ketika masih belum ada ikatan pernikahan. Karena janji
bukanlah sebuah permainan, janji adalah suatu hal yang sakral dan dosa itu
berlaku selama janji tidak kita tepati.
So,
buat semua teman-teman jangan pernah mengumbar janji yang ujung-ujungnya kita
nggak tau apa kita bisa menepati atau tidak. Tak terkecuali kepada seseorang
yang kita sayang, seperti pacar kita sendiri. Karena cinta itu tidak ada yang
abadi. Cinta itu berubah-ubah, dan kita tidak akan pernah tau kapan cinta kita
akan berubah. Karena sesungguhnya diri kita sendiri tidak pernah tau berapa
kadar cinta yang kita miliki untuk orang yang kita sayang.
*Maaf
ya teman-teman kalo ceritanya hambar. Hhe. Maklum masih pemula nih.!
Dan
maaf juga kalo ceritanya ngaret dipostingnya...
Makasih
ya udah mau baca cerpenku ini..
By:
Ocvida Izmiastuti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar